Pemanggil Putri Duyung
(Ahmad Riyanto Arbani)
Setelah matahari terbenam, semua orang-orang kampung menutup jendela dan pintunya rapat-rapat. Tak ada seorang pun yang berani keluar dari rumah selepas azan magrib dikumandangkan. Suasana di kampung sangat sunyi ketika malam tiba. Hembusan angin dan bunyi suara burung hantu membuat suasana kian hening dan sepi kian bernyanyi-nyanyi.
Di dalam setiap rumah, para orangtua selalu menceritakan kepada anak-anak mereka tentang bahaya yang menunggu jika keluar saat setelah azan magrib dikumandangkan. Mereka menceritakan bahwa saat itulah jin dan setan sedang berkeliaran menunggu anak-anak yang bermain diluar rumah. Entah untuk menakut-nakuti atau memang demikian kenyataannya, itulah yang selalu dikatakan oleh para orangtua pada anaknya. Mereka juga mengatakan bahwa jin dan setan yang berkeliaran keluar saat malam hari membuat tubuh mudah terkena penyakit, virus maupun bakteri. Udara malam begitu sejuk merupakan jebakan para roh makhluk halus yang mengakibatkan penyakit asma, paru-paru basah, menyebabkan sendi dan rematik. Di samping itu angin malam juga disukai oleh nyamuk jenis anopheles, oleh sebab itulah penduduk kampung kami tak berani keluar saat malam tiba, karena jika sampai terkena penyakit tak ada yang dapat mengobatinya. Tak ada seorangpun yang ahli dalam mengobati, maka jika ada penduduk yang terkena penyakit mereka hanya akan mendiamkannya sampai sembuh atau sampai nyawa merenggutnya. Kota terlalu jauh untuk sampai pada batas kesembuhan.
Setelah lewat pukul 12, saat para penduduk terlelap di dalam mimpi mereka masing-masing, ibu mengajakku pergi ke tengah laut. Ia berkata akan memanggil putri duyung. Kali pertamanya aku mendengar sesuatu yang tak masuk akal seperti itu. Bukankah putri duyung hanya sebuah dongeng anak-anak yang diceritakan oleh para orangtua untuk mengantar tidur anak-anaknya. Namun, setelah ibu mengatakan untuk kedua kalinya dengan raut yang cukup serius aku mengiyakannya saja.
“Kita akan ke laut untuk memanggil putri duyung itu,” ucap ibu dengan penuh keyakinan. Aku hanya mengangguk pelan menenangkan hatinya. Meski sebenarnya terselip pertanyaan dan keraguan dibenakku, aku mengikuti ibu yang menembus kegelapan malam. Ibu tak peduli lagi dengan cerita-cerita yang dipercaya oleh penduduk desa tentang penyakit yang dibawa oleh setan dan jin. Bagi ibu malam ini adalah malam dimana ia akan memanggil putri duyung. Sepanjang perjalanan menuju laut, ketakutan menyelimuti perasaanku. Di kanan dan kiriku dipenuhi semak belukar yang mengirimkan bunyi yang sangat menyayat keberanianku. Purnamapun tak menunjukkan pesona seperti biasanya. Hanya ada sedikit pancaran cahaya yang dihadiahkannya lewat awan-awan.
Sesampai di tepi pantai ibu langsung menuju perahu kecil nelayan yang berada di tepi pantai. Ibu menyuruhku naik ke perahu dan menerangi jalan dengan lentera. Ibu naik setelah aku menyeimbangkan beban di atas perahu. Secara perlahan aku mendayung perahu ke tengah. Membawa ibu dan perlengkapan doanya. Air bergemericik di bawah perahu kami. Hatiku masih pias, ragu, dan takut. Ombak sama sekali tak mengurangi tingkat perasaan-perasaan itu. Ibu komat-kamit membacakan sesuatu sembari sesekali melempar sesuatu ke laut. Ombak yang semula membuat perahu kami terombang-ambing entah mengapa tiba-tiba menjadi tenang. Laut seolah-olah terdiam. Ibu mulai menghidupkan lilin satu persatu. Ibu menyalakan enam lilin dan membaca doa cukup lama. Mulutnya tak berhenti sama sekali seolah ketenangan laut menakutkannya. Beberapa saat kemudian aku merasakan hantaman keras dari perahu kami. Ombak menggoyah kembali. Ibu tak terpengaruh. Ia tak berhenti dari ritualnya. Perasaan di dadaku yang semula dipenuhi oleh rasa ngeri dan takut perlahan berubah menjadi ketenangan yang aneh. Mungkin karena aku melihat ibu begitu tenang meski ombak seolah akan menenggelamkan perahu kecil kami.
“Lihatlah nak, mereka mulai datang..” Ucapan ibu membuyarkan lamunanku. Aku melihat ke tangan ibu menunjuk, tak ada apapun di sana. Hanya ada gulungan ombak yang seolah tengah mengantre bertaruh akan menenggelamkan perahu kami.
“Tak ada apapun di sana bu,” ucapku.
“Lihatlah di sana, lihatlah dengan hatimu, nak. Cobalah menyatu dengan alam. Rasakan kehadirannya, maka kau akan melihat kehadirannya.”
“Bagaimana caranya?” Aku ragu.
“Pejamkan matamu. Rasakan alam. Rasakan udara. Lalu bukalah matamu secara perlahan seolah-olah kau meresapi semesta di sekitarmu,” ujar ibu. Aku menuruti kata-kata ibu. Saat membuka mata, aku terkejut dengan penglihatanku sendiri. Mereka benar-benar ada, seperti yang dikatakan oleh ibu. Tidak seperti putri duyung yang ku kenal dalam dunia nyataku yang hanya sebatas hewan dengan ekor yang tidak menarik sama sekali. Putri duyung yang berada di di hadapanku sangat indah. Wajahnya seperti manusia, rambutnya terlihat berkilau dan hitam. Saat menatap mereka, perasaanku seolah-olah ada di dunia lain. Terlampau indah hingga kulupakan keberadaan ibu di sampingku.
“Lihatlah nduk, merekalah yang menjaga agar ikan-ikan tetap tumbuh dengan baik sehingga para nelayan dapat menghasilkan ikan yang melimpah setiap harinya. Lihatlah di sebelah sana, sebentar lagi yang datang akan semakin banyak..”
Aku memperhatikan putri duyung itu satu persatu yang menampakkan wajahnya dipermukaan laut, lambat laun putri duyung itu bertambah banyak, wajahnya mirip denganku, dengan manusia. Mungkin mereka juga punya pikiran dan perasaan yang sama sepertiku. Tubuh mereka tak terlalu gemuk ataupun kurus. Mereka melompat dan terkadang saling mengejar satu sama lain. Seperti lumba-lumba. Alangkah indahnya, batinku.
“Sudah nduk, hari telah dini. Mari kita pulang.”
“Baik bu,” ucapku tak rela. Ibu mendayung perahu kecil kami menuju ke tepian pantai. Meninggalkan putri-putri duyung itu jauh di belakang.
Esok harinya, para nelayan pulang dengan wajah yang cerah. Mereka pulang dengan panen yang baik dan memuaskan. Anak-anak menanti di teras rumah mereka sembari melompat-lompat gembira. Ibu-ibu menunggu dengan senyum yang tak bisa disimpan. Aku menyadari, kebahagiaan pagi itu berkat para putri duyung yang semalam kulihat bersama ibu. Entah mengapa rasanya aku ingin melihat kembali para putri duyung tersebut untuk kembali pulang dan melihat kegembiraan yang sama di wajah para penduduk tepi laut seperti pagi ini.
Tak terasa ajakan ibu malam itu seperti ekstasi. Selama berbulan-bulan, setiap malam aku selalu menemani ibu ke tengah laut lepas untuk memanggil putri duyung. Mereka membawa keberuntungan dan kebahagiaan. Selama berbulan-bulan itu pula aku selalu menyaksikan kebahagiaan terpancar dari wajah-wajah para penduduk. Hingga pada suatu malam terjadi sesuatu. Malam itu, selepas memanggil putri duyung, ibu tiba-tiba tak sadarkan diri. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali menangis sejadi-jadinya di tengah laut lepas. Tubuhku kaku seperti batu, aku tak bisa berkata-kata. Setelah mengumpulkan serpihan kesadaran akibat kepanikan, kuputuskan membawa ibu pulang ke rumah.
Setibanya di tepi pantai, aku menggendong tubuh ibu. Tubuhnya terasa lebih berat dari biasanya. Aku membaringkan tubuhnya yang renta di atas dipan. Bayangan tentang ayah tiba-tiba terlintas di benakku. Rasa ngeri mendadak menghampiri. Trauma mempertanyakanku kembali, akankah aku kehilangan ibu seperti aku kehilangan ayah?
“Nak,” ucap ibu perlahan tanpa membuka mata.
“Iya bu, Nanda di sini, di dekat ibu.” Ucapku tak bisa menyembunyikan rasa lega melihat ibu tersadar.
“Nak, kamu harus memanggil putri duyung itu lagi. Karena hanya itulah yang bisa membawa kebahagiaan ke wajah orang-orang disini,” ucap ibu perlahan. Aku bingung sebelum menyadari bahwa ibu kembali tak sadarkan diri. Wajah ibu nampak begitu tenang seperti seseorang yang telah memaafkan segalanya. Nafasnya tak lagi naik turun. Tak ada reaksi apapun di dalam tubuh ibu. Jiwa ibu tak lagi di sana. Bayangan kehilangan ayah menekan perasaanku. Kini tak ada lagi siapapun di sampingku.
“Ibu..” Kuguncang tubuh ibu. Ibu seolah menemukan sesuatu yang lebih berharga dariku. Aku memanggilnya lagi dan lagi. Suaraku seolah ditelan kegelapan. Hingga akhirnya kurasakan ada yang tengah mendobrak pintu. Warga berdatangan. Mungkin mereka mendengar jeritanku memanggil ibu. Dari cara warga melihatku, kusadari bahwa mereka mengasihaniku. Beberapa dari mereka memeriksa denyut nadi ibu dan menggeleng. Kemudian mereka menatapku dengan penuh duka cita.
Tujuh hari setelah kepergian ibu, hidupku seolah tak punya kepastian. Bayangan ibu seolah tetap hidup dan nyata di duniaku. Bayangan saat ibu tersenyum, memasakkan sesuatu untukku, dan saat ibu menepuk-nepuk pundakku kala aku berkata rindu ayah. Kenangan manis itu berubah menjadi bumerang bagi hatiku. Aku ingin lari darinya. Kadangkala sesuatu yang terlalu manis akan membuat seseorang merasakan pahit. Aku lupa bagaimana cara hidup di usiaku yang masih 15 tahun. Tak ada yang bisa membawaku keluar dari kegelapanku sendiri. Kuputuskan untuk meninggalkan segalanya di sini. Tentang ibu, tentang ayah, tentang laut, tentang kebahagiaan penduduk tatkala mereka memperoleh panen yang melimpah, melupakan putri duyung.
Untuk menghentikan rasa sakitku mengingat semua kenangan itu, kuputuskan pergi merantau ke kota. Ya, aku melarikan diri dari kenyataan. Aku mencari uang sebagaimana orang-orang. Menempati kehidupanku sendiri ke dalam sesuatu yang tak pernah kuinginkan. Aku menjajakan tubuhku pada orang lain dan mendapatkan sejenak indahnya melupakan. Aku bahagia meskipun hanya sementara. Rasa rindu pada ibu dan bayangan tentang putri duyung tak pernah sedikitpun menyembuhkanku.
Hingga pada suatu malam antara sadar dan tidak aku bertemu ibu. Ya, aku bertemu ibu yang biasa menepuk-nepuk pundakku tatkala dunia terasa lebih membebani. Ibu memberiku senyuman terindahnya. Senyuman yang seolah mengobatiku. Memberiku tangga untuk naik ke permukaan hidupku lagi. Senyum yang menyadarkanku bahwa apa yang kulakukan kini hanya lari. Ibu memberiku bayangan tentang saat pertama kalinya aku melihat putri duyung di tengah laut lepas. Hatiku seolah menerimanya tanpa tendensi. Pikiranku seperti kembali. Hingga akhirnya kuputuskan untuk kembali pulang.
Setibanya di kampung, anak-anak kecil menyambutku riang. Seolah-olah meneriakkan kemenanganku menghadapi kegelapan. Mereka bersorak seakan-akan mereka tahu bahwa aku akan kembali. Aku memberi mereka makanan-makanan kecil yang kubeli dari kota. Cokelat, permen, gula-gula berwarna-warni, dan lain sebagainya. Warga mengucapkan selamat datang padaku seperti telah menunggu kedatanganku dengan cukup lama.
Ya, aku pulang. Memeluk lagi rumahku dan kenangan tentang ibu dan ayah. Malam harinya kuputuskan untuk pergi ke laut. Memanggil putri duyung seperti yang pernah ibu pesankan padaku. Selepas jam 12 malam aku berangkat melewati jalan setapak yang penuh dengan semak belukar. Lama sekali aku tak melewati jalan setapak ini. Aku menyadari bahwa saat ini hanya aku seorang yang bisa memanggil putri duyung itu.
Di tengah laut, kunyalakan enam buah lilin dan merapal doa seperti yang ibu ajarkan padaku. Selepas kupejamkan mata, aku melihat mereka. Mereka yang kulihat ini masih sama indahnya dengan saat aku melihatnya bersama ibu. Keindahan mereka membuatku rindu, namun tak menyakitiku. Esoknya kebahagiaan yang sama seperti dulu masih kurasakan lewat wajah-wajah ceria penduduk desa.
“Lihatlah bu, aku bisa memanggil mereka,” ucapku dalam hati.